Tidak Wajib Membayar Bunga Bank?
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KPMI Pusat)
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Diantara dilema setelah dilanda utang bank adalah kewajiban untuk membayar bunga pinjaman. Di masyarkat kita, bunga dilegalakan oleh negara. Lembaga keuangan dibenarkan untuk mengambil margin dari pembiayaan yang dikucurkan ke nasabah. Sehingga bank bisa menggunakan payung hukum untuk meminta nasabahnya untuk menyerahkan riba pinjaman.
Tapi kita tidak berbicara soal aturan negara dan regulasi yang diberikan pemerintah terhadap lembaga keuangan di Indonesia. Urusan ini kita adalah bagaimana syariat mengatur.
Sebelumnya, mohon untuk tidak disalah-pahami. Tulisan ini sama sekali tidak untuk memotivasi anda agar semakin rajin utang bank. Apalagi mengajak anda untuk mengundang bank agar mengaudit usaha anda dan mengucurkan kredit untuk anda. Sama sekali tidak.
Tapi tulisan ini upaya untuk memberi jawaban bagi mereka yang sudah larut dalam riba bank. Di posisi tercekik dengan utangan bank yang mengharuskan adanya bunga besar.
Saya awali dari pernyataan,
Riba tidak wajib dibayarkan secara syariat.
Ada banyak alasan untuk pernyataan ini. Tapi satu yang harus anda catat, kita memandangnya dari sudut pandang syariat.
Pertama, bahwa memberi bunga bank berarti sama dengan memberi makan orang lain dengan riba
Kita tidak boleh berfikir, bahwa ketika terjadi transaksi riba, yang kena dosa hanya yang menikmati. Karena untuk satu transaksi riba, ada banyak pihak yang terkena imbasnya. Meskipun yang menikmati ribanya hanya satu.
Dari Jabir dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang makan riba, pemberi makan riba, orang yang mencatat transaksinya dan kedua saksi transaksi riba.
Beliau mengatakan, “Mereka semua sama.” (HR. Muslim 4177, Nasai 1248 dan yang lainnya).
Yang dimaksud pemberi makan riba adalah nasabahnya. Dia yang memberi bunga kepada bank.
Artinya, ada dosa tambahan yang akan didapatkan oleh mereka yang mendapatkan utangan dari bank, yaitu dosa memberi makan riba ke bank. Dosanya kena laknat.
Kedua, mengapa korban riba dilaknat?
Jawabannya, karena telah melakukan aktivitas tolong menolong dalam dosa dan maksiat. Sementara kita dilarang untuk tolong menolong dalam dosa dan maksiat.
Allah berfirman,
وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Jangan melakukan tolong menolong dalam dosa dan tindakan melampaui batas.” (QS. al-Maidah: 2)
Tolong menolong dalam riba, berarti tolong menolong dalam transaksi yang haram dengan sepakat ulama.
Ibnu Qudamah mengatakan,
كلُّ قرضٍ شرطَ فيه أن يزيدَه – فهو حرام بغَيْر خلاف
Semua utang yang mempersyaratkan harus ada tambahan, hukumnya haram tanpa ada perbedaan pendapat. (al-Mughni, 4/390).
Ketiga, klausul adanya tambahan saat pelunasan utang, termasuk perjanjian yang bathil. Dan setiap perjanjian yang bathil, tidak diberlakukan. Meskipun bisa jadi transaksinya tetap berjalan.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
Semua syarat yang tidak ada dalam kitab Allah maka statusnya batal, meskipun jumlahnya 100 syarat. (Bukhari & Muslim).
Yang dimaksud syarat yang tidak ada dalam kitab Allah adalah ketentuan dan kesepakatan yang bertentangan dengan aturan Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut ketentuan semacam ini dengan kebatilan. Dan ketentuan adanya riba, termasuk ketentuan batil.
Ibnul Mundzir mengatakan,
أجْمعوا على: أنَّ المُسْلِف إذا شرطَ على المستلِف زيادةً أو هديَّة، فأسلفَ على ذلك – فهُو ربا
Ulama sepakat bahwa jika orang yang memberi utang mempersyaratkan harus ada tambahan atau hadiah, kemudian dia mau memberi utang, maka ini riba. (Dinukil dari al-Mughni, 4/390).
Ini semua menjadi bukti bahwa bunga bank, tidak wajib dibayarkan secara syariat..
Aturan Riba Dilegalkan Negara
Yang menjadi kendala, orang yang berutang di bank, akan menghadapi peraturan pemerintah yang melegalkan bank untuk mengambil bunga atas pinjaman yang diberikan ke nasabah.
Tentu jika nasabah diberi pilihan antara bayar bunga dan tidak bayar bunga, mereka akan memilih tidak bayar bunga. Namun bank butuh margin. Ketika memberikan kredit, bank telah menetapkan plafon-nya.
Hanya saja, ini semua kembali kepada kebijakan bank. Bisa jadi bank bank mencabut kewajiban bunganya dan bisa jadi, bunga itu terus bertambah (bunga progresif).
Selama di sana ada beberapa pilihan, di sinilah peluang bagi nasabah. Dia bisa jadikan ini sebagai celah untuk menghindari riba bank.
Kredit Macet dan Performa Bank
Di tempat kita, bank itu ibarat kerajaan. Penguasa tertinggi ada di BI. Promosi jabatan tingkat cabang, bahkan sangat dipengaruhi kebijakan BI. Jangankan kinerja karyawan bank, sampai nasabah-pun BI punya datanya. BI checking adalah salah satu bukti bagaimana sentralisasi data di dunia perbankan.
Pertemuan saya dengan Pak Mirza
Akhir Mei 2016, dalam kunjungan ke KPMI semarang, Allah mempertemukan saya dengan bapak H. Achmad Mirza. Sebenarnya maksud kedatangan kami adalah menikmati nasi briyani di kedai Pak Mirza. Namun mengingat ketika itu beliau sedang ada di tempat, kami diperkenalkan oleh KPMI Semarang.
Beliau adalah mantan praktisi debitor bank. Beliau sempat terjerat utang dari berbagai bank, hingga nilai belasan M. seingat saya, waktu itu beliau menyebut 13 M, dan itu beliau jalani selama belasan tahun. Utangnya lebih besar dari pada asetnya. Beliau berkesimpulan, kalau saya mengikuti alur aturan bank, sampai kapanpun cicilan saya tidak akan bisa selesai.
Salah satu faktornya adalah keterlibatan beliau di EU (Entrepreneur University), yang mengajarkan prinsip, undang bank sebanyak-banyaknya untuk ngutangi anda. Semakin banyak bank yang mengucurkan utang ke anda, berarti anda semakin terpercaya di mata bank. Alhamdulillah, komunitas ini sudah hancur, bersamaan dengan pimpinannya masuk penjara karena dinyatakan pailit oleh pengadilan.
Anda bisa bayangkan, ketika orang sudah punya prinsip yang tersesat semacam ini. Dia meletakkan standar kejujuran dan kepercaayaan manusia kepada bank, yang notabene kumpulan orang pemakan riba (baca: orang fasik). Semoga aliran semacam ini tidak berkembang lagi. Untuk kesekian kalinya, saya bertemu dengan para korban aliran menyimpang EU ini.
Singkat cerita, Pak Mirza bertanya, jika ada orang yang terbelit utang riba bank, apa solusi yang bisa diberikan ustad?
Pertannyaan ini memang sering saya dengar. Dalam banyak forum kajian, banyak orang yang kebingungan dengan nasib utang yang menjadi tanggungannya. Baik KPR rumah, kredit kendaraan, KTA, termasuk kartu kredit. Pertanyaan ini sebenarnya berangkat dari pemahaman mereka, bahwa memberi riba adalah haram. Kalaupun hanya sebatas membayar pokoknya, mungkin bagi mereka tidak masalah. Tapi riba, selalu melekat di sana.
Saya-pun memberikan jawaban yang normatif.
Dosa melakukan transaksi riba, itu dosa masa silam, ketika dia membuat kesekapatan dengan bank. Sementara tanggung jawab dia sekarang adalah bagaimana tidak menambah bunga di bank. Sehingga sebaiknya dia ikuti aturan bank. Agar tidak kena pinalti, yang itu menambah masalah baginya.
“Berarti dia tidak bisa lepas dari dosa memberi riba bank?” Lanjut Pak Mirza.
Saya terdiam. Karena memang menurut saya, ini tidak bisa dihindari.
Beliau sendiri mengakui, para ustad hanya akan memberikan jawaban normatif. Masalah teknis, ustad tidak tahu. Maklum, para ustad belum punya pengalaman melepaskan diri dari kredit bank.
Saya hanya bisa menjawab, “Itu tidak bisa dihindari.”
“Saya punya cara untuk menghindari itu..” tegas Pak Mirza.
“Ustad memang hanya menjelaskan dari sisi hukum syar’i-nya. Tapi mereka tidak menjelaskan teksnisnya.”
Hingga, mulailah Pak Mirza menceritakan pengalamannya. Salah satu prinsip yang beliau tekankan adalah membangun mental untuk melawan riba bank.
Kembali ke masalah penilaian performa bank…
Bahwa adanya kredit macet, sebenarnya menjadi masalah besar bagi kesehatan bank. Apalagi sampai melelang aset atau jaminan, bank dinyatakan sakit, jika melelang jaminan.
Ratio Non Performing Loan (NPL) akan semakin meningkat jika banyak kredit macet. Dan itu termasuk yang ditakuti bank. Bahkan bagi assesor bank, NPL merupakan salah satu cara untuk menilai fungsi bank tersebut bekerja baik atau tidak.
Kata Pak Mirza, ketika terjadi kredit macet, semua karyawan bank dalam ancaman. Mulai dari managemennya, sampai kolektor. Promosi jabatan mereka sangat dipengaruhi penilaian BI. Ketika bank ini berpenyakit, ini menjadi kendala mereka untuk naik jabatan. Dan yang lebih ditakutkan lagi, ini mengancam berkurangnya modal bank.
Marketing kredit (Account Officer – AO) disalahkan, mengapa debitor semacam ini dikabulkan.
Kolektornya disalahkan, mengapa dia tidak bisa menarik kredit.
Managemennya disalahkan, mengapa ratio NPLnya meningkat.
Dst…
Salah satu penyebab NPL meningkat adalah masalah suku bunga. Salah satu strategi bank adalah membebaskan suku bunga.
Salah satu hasil yang dialami Pak Mirza, beliau pernah ditagih oleh kolektor bank untuk segera melunasi kartu kreditnya. Pak Mirza meminta, agar beliau hanya membayar pokoknya, dan dihapuskan bunganya. Tapi bank menolak. Kondisi ini beliau biarkan selama berbulan-bulan. Hingga akhirnya pihak bank yang menghubungi beliau untuk hanya membayar pokoknya saja.
Selesai obrolan, beliau memberikan saya buku agak tebal sekitar 380 halaman…
“Ini cerita saya, dari mulai awal terjerat utang sampai bisa bebas utang, tanpa bayar riba ke bank. tapi buku ini versi dummy. Mohon koreksinya, jika ada yang salah.”
Buku itu berjudul, “Semua Bisa Bebas Utang”
Yang beliau ceritakan di atas hanya penggalan teknis. Karena teori yang beliau ceritakan di buku, tidak sesederhana yang beliau sampaikan dalam obrolan singkat.
Dan patut disadari, standar bank beda-beda. Sementara tidak semua nasabah memiliki mental yang sama dalam menghadapi bank.
Yang mengkhawatirkan, ketika dia di posisi selalu kalah dengan bank, tapi mencoba melawan, sementara tidak tahu celahnya. Ini bisa berbahaya. Termasuk piranti yang perlu dipelajari adalah soal hukum positif di tempat kita. Orang harus kenal.
Sayangnya, di tempat kita belum ada pendampingan bagi nasabah yang terjerat riba, agar bisa keluar dari bank tanpa membayar bunganya.
Kita butuh tim atau komunitas dari berbagai elemen, terutama advokat, ahli hukum, manta praktisi bank, mantan debitor sukses dari riba bank, termasuk para pengajar yang paham ilmu syariat. Mereka perlu disinergikan untuk menolong orang-orang yang terjerat utang riba. Minimal bisa bebas dari bunga bank.
Saran ini saya sampaikan ke Pak Mirza, dan beliau sanggup menjadi pendampingnya. Saat ini beliau sendiri sedang melakukan beberapa pelatihan para pengusaha dan debitor bank di kudus. Hasilnya memuaskan, banyak diantaranya telah bebas dari utang riba bank.
Allahu a’lam.
PengusahaMuslim.com
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
- SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
- DONASI hubungi: 087 882 888 727
- REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK